Jumat, 26 Agustus 2011

Pengertian Teori Dalam Ilmu Hukum

Istilah teori berasal dari bahasa inggris, yaitu theory. Dalam bahasa Belanda disebut dengan theorie. Para ahli tidak mempunyai pandangan yang sama dalam memberikan pengertian atau hakikat teori. Ada ahli yang menjelaskan bahwa teori sama dengan fenomena dan ada juga yang menjelaskan bahwa teori merupakan proses atau produk atau aktifitas, serta ada juga yang menjelaskan bahwa teori adalah suatu sistem. Pandangan para ahli tentang pengertian teori disajikan berikut ini.
Fred N. Kerlinger menjelaskan pengertian teori sebagai:
“seperangkat konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antara variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan gejala itu” (Fred N. Kerlinger, 1990: 14-15).
Ada dua hal yang terkandung pada definisi ini, yaitu sebagai berikut.
1. Sebuah teori adalah seperangkat proposisi yang terdiri atas konsep-konsep yang terdefinisikan dan saling terhubung.
2. Teori menyusun antar hubungn seperangkat variabel konsep sehingga suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena terdeskropsikan oleh variabel-variabel itu.
Kerlinger menyimpulkan bahwa pada hakikatnya teori menjelaskan suatu fenomena. Penjelasan itu dilakukan dengan cara menunjuk secara rinci variabel-variabel tertentu yang terkait dengan variabel tertentu yang lainnya. Variabel adalah simbol bilangan yang padanya dilekatkan bilangan atau nilai, seperti kelas sosial, jenis kelamin, aspirasi, dan yang lainnya.
Jonathan Turner menyebutkan tiga unsur tiga unsur dalam teori. Ketiga unsur tersebut meliputi:
1. Konsep;
2. Variabel; dan
3. Pernyataan (dalam Maria S.W. Sumardjono, 1989: 12-13)
Konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam satu bidang studi sehingga menjadi penjabaran abstrak teori. Sebagai contoh, dalam teori tentang kenakalan remaja, ada beberapa konsep yang terkait, misalnya kenakalan, remaja, status sosial ekonomi, prestasi di sekolah, dan lain sebagainya.
Konsep yang bersifat abstrak itu harus dijabarkan melalui variabel. Dengan demikian, apabila konsep itu berhubungan dengan teori, variabel berhubungan dengan observasi dan pengukuran. Dalam konsep status sosial ekonomi, variabel tersebut misalnya dapat diamati dan diukur berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan orang tua.
Duane R. Munette, dkk., mengemukakan pengertian teori. Ia mengemukakan, teori adalah :
“seperangkat proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dalam sistem dedukasi, yang mengemukakan penjelasan atas suatu masalah (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 9).
Ada tiga unsur yang terkandung pada pengertian teori menurut Duane R. Munette, dkk., yaitu:
1. Penjelasan tentang hubungan antar berbagai unsur dalam suatu teori;
2. Teori menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus atau nyata;
3. Teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya.

Bruggink mengartikan teori adalah:
“proses atau aktifitas dan sebagai produk atau hasil aktifitas itu, dan hasil itu terdiri atas keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan tentang suatu obyek tertentu” (Bruggink, 1999: 160).
Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga mengemukakan bahwasannya teori adalah:
“sebuah sistem pernyataan-pernyataan (klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untukmenjabarkan (menurunkan) hipotesis-hipotesis yang dapat diuji (Jan Gijssels dan Mark van Hoccke, 2000:88)
ANALISIS
Bila membandingkan keempat pengertian teori yang disajikan di atas, dapat dikemukakan perbedaan dan persamaannya. Kerlinger melihat teori dari aspek fenomena. Berarti bahwa pandangannya bertitik tolak dari fakta-fakta sosial, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sifatnya induktif. Sementara itu, Duane R. Munette, dkk., melihat teori dari aspek deduktif, yaitu berangkat dari yang bersifat umum yang menarik suatu kesimpulan yang bersifat induktif. Sifatnya deduktif. Bruggink melihat bahwa teori merupakan proses atau produk. Sementara itu, Jan Gijssels dan Mark van Hoccke melihat teori dari sistem pernyataan-pernyataan menjelaskan gejala atau unsur atau variabel atau hasil.
• H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta , Rajawali Pers, 2010.

Minggu, 14 Agustus 2011

LIMITASI HUKUM PIDANA ISLAM MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR

1. Latar belakang
Menurut pandangan fiqh klasik bahwa hokum pidana yang sudah dikatagrikan sebagai jarimah hudud bersifat tetap dan pasti, dimana jenis dan macam hukuman bersifat qoth’iy dari al-Qur’an dan sunnah. Sehingga hal ini membarikan ketegasan hokum yang pasti dan tidak bisa diubah-ubah atau ditawar-tawar lagi karena digolongkan sebagai hak Allah. Disisi lain formulasi hudud semacam ini menampakkan suatu bentuk ancaman hukuman yang oleh beberapa kalangan dipandang sebagai hukuman yang kejam dan kurang manusiawi .
Perdebatan soal penerapan hokum islam (syari’at islam) di sejumlah Negara sampai sekarang merupakan persoalan yang belum kunjung selesai. Persoalan ini paling tidak disebabkan adanya kelompok islam pro dan kontra di seputar pelaksanaan hokum islam itu sendiri.
Hokum pidana islam yang sering dikenal dengan istilah fiqh jinayah termasuk salah satu aspek fiqh yang tidak banyak teraplkasi di Negara-negara islam. Semenjak runtuhnya khilafah usmaniyah dibagian barat dunia serta akibat kolonialisasi Negara-negara islam oleh eropa. Sebenarnya telah banyak muncul tuntutan untuk memberlakukan kembali hukuman seperti qishos dan hudud, yang sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Syari’ (Allah). Ternyata pelaksanaan hhukuman tersebut akhirnya dibatasi karena kecaman di dalam negri dan pemberitaan di luar negri yang merugikan citra Negara, seperti yang terjadi pada Negara Pakistan dan Sudan.
Delima penerapan hudud tersebut mendorong munculnya upaya untuk menformulasikan dan menginterpretasikan kembali hukum pidana islam yang diharapkan lebih aplikatif dan selaras dengan tuntutan peradaban modern. Karena kalau hal itu tidak dilakukan, implikasinya- seperti yang disinyalikan oleh Munawir Sadzli, Islam terncam tidak dapat ikut bericara mengenai peradaban mutakhir. Hal ini berarti bahwa muatan hukum yang selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang.
Ketika menhadapi kenyataan terjadinya benturan antara penerapan hukum pidana islam dengan standar hukum modern. Terdapat perselisihan pandangan tidak hanya dengan orang non muslim tetapi juga antara muslim dengan muslim, paling tidak ada tiga kecenderungan \pandangan atau sikap umat islam terhadap penerapan hukum tersebut;
1. Klompok skriptualis, yang menginginkan hukum islam diformalkan sebagaimana yang tertulis dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Klompok substantialis, yang berpandangan penerapan hukum islam tidak mesti persis seperti apa yang disebut dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Klompok sekularis, yang menginginkan islam hanyalah sebagai keyakinan saja. Maka urusan selain itu (dalam hal ini hukum islam sudah tidak relevan lagi dimunculkan sebagai alternative).
Munculnya beberapa respon seperti apa yang ada diatas yang saling bertolak belakang tersebut, paling tidak berangkat dari adanya anggpan bahwa hukum pidana islam yang sudah terbakukan merupakan ketentuan syari’at yang sudah tidak mungkin untuk dilakukan interpretasi terhaadapnya, disatu pihak adanya dalih menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Upaya memberikan jawaban terhadap persoalan hukum pidana islam sebagaimana tersebut diatas, sebetulnya telah banyak dilakukan. Abdullah Ahmed An-Na’im misalnya, melakukan reformulasi terhadap pelaksanaan fiqh jinayah klasik, bila dilihat dari standar hukum modern sudah tidak memadai untuk diterapkan di masa sekarang. Dalam konsep reformulasinya An-Na’im menekankan perlunya membatasi aturan-aturan hukum yang keras dan ketat sambil diadakannya redefinisi terhadap rumusannya sehingga sesuai dengan kondisi masyarakat modern yang menjunjung tinggi humanism, demokrasi, dan kesetaraan martabat seluruh manusia.
Keinginan An-Na’im untuk melakukan reformulasi dan redefinisi terhadap persoalan fiqh jinayah, sesungguhnya sejalan dengan Muhammad syahrur. Namun ada perbedaan yang mendasar terhadap pijakan teori yang digunakannya. Gagasan syahrur ini muncul untuk ikut memberikan satu bentuk tawaran interpretasi terhadap hukum pidana islam. Pemikiran ini berangkat dari suatu asumsi bahwa formulasi hukum pidana islam (hudud) sebagaimana para fuqoha definisikan, disatu sisi memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga implikasinya hukuman jarimah hudud tidak bias dihapuskan. Namun di sisi lain, hukum pidana islam dipandang tidak selaras lagi dengan semangat upaya penegakkan hak asasi manusia yang merupakan isu sentral dalam dunia modern. Karena itu problem yang mendasar adalah bagaimana memahami hukum pidana islam dengan prinsip-prinsip kontemporer universal tentang system peradilan pidana dan penegakkan hak asasi manusia.
Syahrur melihat bahwa masyarakat di modern ini telah terpolarisasi dalam dua blok. Pertama, mereka yang berpegang secara ketat kepada arti literal dari tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran yang absolute. Apa yang cocok untuk komunitas pertama di zaman nabi SAW juga dipandang cocok untuk semua orang yang beriman di zaman kapanpun. Kedua, mereka yang cenderung menyerukan sekularisme dan modernitas, menolak semua warisan islam termasuk Al-Qur’an sebagai bagian dari tradisi yang harus di warisi.
Menurut Syahrur, semua kelompok ini telah gagal memenuhi janji mereka untuk menyediakan modernitas pada mayarakatnya. Kegagalan inilah yang memunculkan kelompok ketiga, di mana Muhammad Syahrur mengklaim dirinya berdiri dalam kelompok ini. Untuk menyerukan, memahami Al-Qur’an sesuai dengan konteks di mana mereka hidup dan memnghilangkan keterjebakan pada produk-produk pemikiran masa lalu. Ia melihat, bahwa saat ini terdapat pengeksplorasian terhadap produk hukum masa lalu untuk menghukumi persoalan-persoalan kekinian. Ia menegaskan, sudah saatnya kepada umat islam untuk ditawarkan fiqh dengan metodologi baru sehingga tidak terkukung dalam paradigma “al-fuqaha al-khamsah” saja.
Dalam upaya untuk memahami keislaman, terutama yang berkenaan dengan persoalan hukum islam, syahrur menawarkan sebuah pendekatan bacaan kontemporer yang dibangun melalui teori limitasi (nadzariyah al-hudud) dengan menekankan analisisnya melalui analisis bahasa (linguistical analysis) yang disebutnya metode historis ilmiyah studi bahasa(al-manhaj al-tarikhy al-ilmy fi al-dirosah al-lughawiyah). Asumsi dasar dari teori limitasi ini adalah bahwa Allah menetapkan hukuman hudud di dalam Al-qur’an munggunakan limitasi. Ayat hudud yang selama ini dipahami oleh ulama sebagai ayat qoth’I, oleh syahrur dipahami sebagai ayat haddiyah yaitu ayat yang mempunyai limitasi (kelenturan batasan) dalam penentuan hukumannya. Dari sini peneliti melihat bahwa persoalan ini penting dan menarik untuk diteliti, karena dari setiap konsep pemikiran manusia memiliki kecendrungan untuk salah dan benar antau sesuai dan berpaling.
2. Rumusan Masalah
Dari sini kita dapat melihat permasalahan yang perlu diselesaikan seperti apa yang dijelaskan sebelumnya, dan agar penelitian ini tidak terlalu meluas maka saya memmbatasi penelitian ini, dalam bentuk pertannyaan sebagai berikut;
1. Apa itu teori batas menurut Muhammad Syahrur ?
2. Bagaimana toeri ini menurut hukum islam itu sendiri ?
3. Tujuan Penelitian
melihat dari rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini sebagaimana berikut:
1. Mencari pemahaman terhadap arti teori batas menurut Muhammad Syahrur.
2. Dan membuka pemahaman, bagaimana teori batas ini dalam pandangan hukum islam itu sendiri.
4. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian, peneliti berharap dapat memiliki kegunaan, dan kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua bagiank
1. Kegunaan teoritis.
a. Mengerti dan memahami arti teori batas menurut Muhammad syahrur
b. Mampu memahami teori batasan ini dilihat dari hukum islam itu sendiri
c. Untuk menambah khazanah keilmuan khususnya dalam teori batas menurut Muhammad syahrur
2. Kegnaan ilmiah
a. Untuk menambah pengetahuan bagi peneliti sendiri dan pembaca khususnya dalam memahami teori batas menurut Muhammad syahrur
b. Menambah khazanah keilmuan dalam memahami toeri batas menurut Muhammad syahrur.
c. Meningkatkan pengetahuan khususnya bagi peneliti dan pembaca, dalam memahami teori batas Muhammad syahrur, dan bagaimana teori itu menurut hukum pidana islam
d. Mampu mengatasi permasalahan fiqh kontemporer khususnya dalam hal hukum pidana islam
5. Tinjauan Pustaka
Dalam pembahasan ini, peneliti mengunakan kajian terhadap hasil penelitian terdahulu. Yang terdiri dari beberapa buku dan buku-buku yang berkaitan dengan tema ini, yang menjadi sandaran utama dalam penulisan ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Judul Asli (Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah) Oleh Muhammad Syahrur.
2. Ushul Jadidah Li-L-Fiqh Al-Islam, Oleh Muhammad Syahrur.
3. Teori Fiqh Jinayah Islamiah, Oleh Ahmad Fathi Bahnasi.
4. Limitasi Hukum Pidana Islam, Oleh Ridwan.