Minggu, 31 Juli 2011

ALASAN PEMBENARAN, ALASAN PEMAAF, DAN ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi tiga;
a. Alasan pembenar
yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwah menjadi perbuatan yang patut dan benar.
b. Alasan pemaaf
yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukun dan tetap merupakan perbuatan pidana akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
c. Alasan menghapus penuntutan
yang dimaksudkan disini bukan ada alasan pembenar atau pemaaf. Jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, akan tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dijadikan penuntutan. Yang
menjadi penimbang disini adalah kepentingan umum.
Setelah kita mengetahui secara global tentang bahasan ini marilah kita akan lebih memahami dan membahas secara mendalam berkaitan dengan hal Pembenaran, pemaaf, dan penghapus penuntutan.
ALASAN / DASAR PENGHAPUS PIDANA
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)
Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.
M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
•. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)
b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
•. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu:
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :
I. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
II. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP.
Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).

DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.
Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal :
1. vis absoluta (paksaan yang absolut).
2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena pengaruh daya paksa”).
Contoh :
A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan.
Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Paksaan Dario dalam :
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan.
. Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum.
. Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya.
KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP).
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand (pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
Contoh klasik : “papan dari carneades”.
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal :
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan toko sudah jam tutup toko, sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician).

3. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum :
a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.
Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
• Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)
• Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut :
Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang.
BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana .
Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :
1. adanya serangan,
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. melawan hukum
b. seketika dan langsung
c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain
d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda
2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan :
a. seketika dan langsung
b. memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.
Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir ?
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu korbannya.
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?
1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative (pasal 49 ayat (1)).
4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.
Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.
BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP)
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.
Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.
3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.
Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.

MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Colonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Anatar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.
Contoh lainnya :
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah.
Catatan :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.


ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :
a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);
f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS.
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH, UUP NO 1/1974, DAN KHI

PENDAHULUAN
Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami.Kasus-kasus poligami yang kebanyakan terjadi saat ini jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali dimana walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan sikap suatu tindakan. Akan tetapi permasalahannya juga sering timbul dan tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. (Dikutip dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974). Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.Akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian hari.


POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH
Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Ketentuan ini didasarkan ayat 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Kelanjutan dari perkawinan monogamy, adalah perkawinan pologami yaitu perkawinan seorang suami (laki-laki) dengan lebih dari seorang istri. Kebalikan dari perkawinan poligami adalah poliandri yaitu seorang wanita (istri) mempunyai lebih dari seorang laki-laki (suami). Perkawinan ini dilarang oleh hokum Ilsm berdasarkan surat al-Nisa ayat 24 yang menyebutkan bahwa janganlah kamu kawini seorang wanita yang sedang bersuami. Dilihat dari segi wanita yang bersangkutan, maka ketentuan ayat ini berupa larangan untuk berpoliandri. Sedangkan dilihat dari segi seorang laki-laki yang akan berpoligami, ayat ini berarti melarang berpoligami terhadap wanita yang sedang bersuami.
Firman Allah surat al-Nisa’ ayat 3 berbunyi :
وَاِنْ خِفتمْ الا تقسِطُوْا فِي اليَتامَى فانكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مثنى و ثلاث ورباع, فانْ خِفتمْ الا تعْدِلُوْا فوَاحِدَةٍ اوْمَا مَلكتْ ايْمَانكمْ ذلك اَدْنى الا تعْدِلوْا
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS An-Nisa’ : 3)
Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan didasarkan pada firman Allah Swt. surat al-Nisa’ ayat 3 diatas. Ayat 3 al-Nisa’ ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’. Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah ; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil dan fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut. Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat dholim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.
Ayat 3 surat al-Nisa sebagaimana yang ditulis dimuka secara ekplisit seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita. M. Quraish Shihab lebih lanjut menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syari’at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri atau terjangkit penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Bagaimana jalan keluar bagi seorang suami, apabila menghadapi kemungkinan tersebut? Bagaimana ia menyalurkan nafsu biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus di ingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya.
Musfir al-Jahrani kebolehan poligami di dalam al-qur’an adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akherat. Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Muh. Abduh berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil. Muhammad Asad mengatakan bahwa kebolehan poligami hingga maksimal empat istri dibatasi dengan syarat, “jika kamu punya alasan takut, tidak mampu memperlakukan adil terhadap istri , maka kawinilah satu, karena untuk membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa.
Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isterinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF KHI
KHI memuat poligami pada bagian IX dengan judul ,”Beristri lebih dari satu orang” yang diungkap dari pasal 55-59.Pada pasal 55 dinyatakan :
1. Beristri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan ,terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang ,suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi,suami dilarang beristri lebih dari satu orang.
Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan :
1. Seorang suami yang akan menikah lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara
Sebagaimana diatur dalam BAB VIII PP No.9 Tahun 1975 :
1. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat yang tidak mempunyai izin dari Pengadilan Agama ,tidak mempunyai kekuatan hukum.
Alasan-alasan suami yang diperbolehkan berpoligami menurut Pengadilan Agama sama dengan yang disebut oleh pasal 4 UUP.
Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam memberikan keizinan .Sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan suaminya untuk berpoligami ,persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perundang-undangan Indonesia telah mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar:1.mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan(sandang,pangan,papan) keluarga (istri-istri dan anak-anak
2. Mampu berlaku adil terhadap istri-istri dananak-anak dari suami poligami tidak disia-siakan.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang poligami seperti telah diuraikan di atas an mengikat semua pihak,pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan.Apabila mereka melanggar pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidana.Hal ini diatur pada bab IX pasal 45 PP No.9 tahun 1975.
Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila dikehendaki ataupun disetujui oleh phak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini diatur dalam UU No. 1/1974 pasal 3(2), pasal 4 (1) dan pasal 5 (1) dan (2). Dan untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1/1974, telah dikeluarkan PP No. 9/1975, yang mengatur pelaksanaan dari UU tersebut.
Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Di antara prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 56, 57, 58, dan 59, di mana pada pasal 57 mengatur persyaratan keluarnya izin berpoligami dari Pengadilan Agama.
Pasal 57 berbunyi:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
• Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
• Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
• Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas serta terkait yaitu pasal 55, 56, dan 58, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat (1) KHI memberi peluang bolehnya beristri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan, tetapi pasal 57 ini mengunci dengan persyaratan yang ketat. Meskipun dibolehkan poligami dengan syarat adil, itupun dapat dilakukan hanya sebagai pintu darurat saja. Pembolehan poligami dengan syarat yang ketat tersebut dapat dilaksanakan dengan bukti-bukti yang autentik.
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF UU NO 1/1974
Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang mengatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.
Untuk kasus poligami untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 disebutkan bahwa untuk memperoleh ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10 ayat 2 dan 3 PP Nomor 10 tahun 1983. Akan tetapi dari hasil penelitian pernah ada permohonan ijin poligami pegawai negeri sipil yang diajukan kepada pejabat atasannya tidak memenuhi alasan dan istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri akibat tindakan suami itu sendiri yang hanya menuntut haknya saja tanpa mau melaksanakan kewajibannya dengan semestinya. Dalam hal ini kesalahan tidak dapat dilimpahkan kepada istri. Dan kasus-kasus semacam ini juga sering sekali terjadi.
Seorang pegawai negeri sipil yang akan melakukan poligami harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
Syarat-syarat komulatif itu antara lain :
1. Adanya persetujuan tertulis dari istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri dan anak mereka.
Dalam pasal 1 ayat 1 PP Nomor 10 tahun 1983 bahwa pegawai negeri sipil yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh ijin dari pejabat dimana dalam surat permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 tadi harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan untuk beristri lebih dari seorang. Permintaan ijin itu harus diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Dalam hal ini setiap alasan yang menerima permintaan ijin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya untuk melakukan poligami wajib memberikan pertimbangan dan wajib meneruskan kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal menerima permintaan surat itu.
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Dalam PP Nomor 10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan memberikan ijin apabila ternyata :
1. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
2. Memenuhi syarat alternatif dan semua syarat komulatif .
3. Tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
5. Tidak ada kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau setingkat dengan itu.
Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.
Pengadilan didalam memberikan pertimbangan terhadap pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari seorang dengan melihat apakah hukum membolehkannya atau tidak yaitu dengan memperlihatkan ketentuan undang-undang yang berlaku serta memperhatikan kelengkapan syarat-syarat maupun alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dan juga Kompilasi Hukum Islam.
Berbicara mengenai perkawinan poligami, yang tentu saja dilakukan oleh seorang suami ini, ada beberapa contoh kasus yang dapat diambil dimana jika diamati banyak sekali terjadi di sekitar lingkungan kita.
Contoh kasus yang terjadi : Apabila ada seorang suami yang mempunyai keinginan untuk melakukan poligami tetapi suami ini tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya untuk melaksanakan perkawinan poligami, sedangkan si perempuan yaitu calon istri dari suami ini sudah terlanjur berbadan dua atau dengan kata lain si perempuan ini sudah dalam keadaan hamil dan hanya tinggal menunggu tanggal kelahirannya saja. Kemudian dari kasus ini akan timbul pertanyaan, Bagaimana tindakan selanjutnya yang harus diambil jika si istri yang syah tetap tidak mau memberikan persetujuan perkawinan poligami yang akan dilakukan oleh suaminya ?
Seorang suami jika dia akan melakukan perkawinan poligami pada dasarnya tetap harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dan telah ditentukan didalam Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, dimana salah satu syarat yang utama yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari istri. Persetujuan inipun seperti telah dikemukakan di awal yaitu ada persetujuan tertulis dan persetujuan secara lisan yang akan didengar oleh hakim pada saat sidang pengadilan berlangsung. Jadi jika dilihat dari kacamata hukum positif, sorang suami ini tetap tidak bisa melaksanakan perkawinan poligami seperti yang diinginkannya tanpa adanya persetujuan dari istri.
KESIMPULAN
Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja“. Kebolehan poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat tertentu.
Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat al-Nisa’dan latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 al-Nisa’).
Para ulama Fikih tidak membahas secara spesifik tentang persyaratan berpoligami. Syarat umum yang dipegang hanya kemampuan bersikap adil dan memberi nafkah. Ijma’ sukuti menegaskan bahwa seorang suami yang hendak berpoligami dan telah memenuhi kedua syarat tersebut dapat melakukannya tanpa perlu adnya izin dari hakim (qadhi).
Adanya KHI yang di dalamnya mengatur tentang poligami khususnya pasal 57 berlandaskan pada beberapa prinsip yaitu memperketat persyaratan dan prosedur perkawinan untuk mengeliminir praktek-praktek poligami yang menyimpang dari konsep dasar dan tujuan perkawinan dalam Islam. Aturan KHI tersebut berpatokan pada aktualisasi maqashid syari’ah.
Namun demikian, pesyaratan yang terlalu ketat dalam KHI itu perlu dipertimbangkan lagi dengan memberi kelonggaran secukupnya. Hal ini mengingat banyaknya masyarakat yang tidak peduli dengan aturan tersebut dan melakukan poligami “liar” atau bahkan berselingkuh dengan “wanita idaman lain (WIL)” karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ketat untuk mendapatkan izin berpoligami dari Pengadilan Agama.
Di sisi lain, tidak cukup bagi muslimin dan muslimat jika hanya memahami legalitas berpoligami saja, mereka juga wajib memahami syariat Islam tentang hakikat dan tujuan perkawinan, sehingga berpoligami betul-betul menjadi solusi dan bukan malah menjadi sumber masalah dalam rumah tangga. Demikian pula, mereka perlu memahami aturan teknis berpoligami itu sendiri. Hal ini penting untuk menekan angka kesalahan praktek berpoligami di tengah masyarakat muslim.


DAFTAR PUSTAKA :
• Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, 2003.
• Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, Jakarta; CV. Haji Masagung, 1989.
• Nuruddin Amiur, Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004
• Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung; Mizan, 1999.
• Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir, Dar al-Manar.

Sabtu, 30 Juli 2011

Pembagian Perbuatan Pidana Dalam Kejahatan dan Pelanggaran

A. Pendahuluan.

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk (a). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, (b). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, (c). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Bila kita membahas tentang hukum pidana, maka kita harus mengetahui apa itu ilmu hukum pidana. Ilmu hukum pidana adalah ilmu atau pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yaitu hukum pidana. Obyek dari ilmu ini adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku di suatu negara, bagi kita hukum pidana indonesia. Hukum pidana yang berlaku dinamakan hukum positif. Tujuannya adalah menyelidiki pengertian obyektif dari hukum pidana positif. Penyelidikan tersebut melalui tiga fase, yaitu (a). Interpretasi, (b). Konstruksi, (c). Systematik.

Di samping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapat dinamakan ilmu tentang hukumnya kejahatan, ada juga ilmu kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi. Obyek dari kriminologi adalah orang yang melakukann kejahatan tersebut (si penjahat) itu sendiri. Dan tujuannya adalah agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sehingga sampai berbuat jahat itu.

Kriminologi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (a). Criminal biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmaninya maupun rohaninya., (b). Criminal sosiology, yang mencoba mencari sebab-sebab itu dalam lingkungan masyarakat di mana penjahat itu berada., (c). Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.

B. Pembahasan.
Sebelum kita membahas makalah ini yang berjudul pembagian perbuatan pidana dalam kejahatan dan pelanggaran, kita harus mengetahui apa itu pidana, hukum pidana, kejahatan dan pelanggaran.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. (menurut Sudarsono).
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negarayang berisi tentang aturan untuk menentukan perintah dan yang dilarang disertai ancaman hukuman bagi yang melanggarnya. (menurut Moeljanto).
Hukum pidana adalah kumpulan aturan-aturan yang memuat perintah dan larangan yang disertai ancaman hukuman atau sangsi bagi yang melanggarnya. (menurut Samijo).
Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat.Ancaman hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara dan hukuman mati, dan kadang kala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu serta pengumuman keputusan hakim.
Pidana adalah nestapa atau sengsara atau keadaan yang tidak menyenangkan secara fisik dan secara psikis atau jiwa.
Pelanggaran adalah perbuatan pidana yang ringan, ancaman hukumannya berupa denda atau kurungan. Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan yang berupa ancaman pidana sehingga hukum ini ditaati oleh setiap individu sebagai subjek hukum.
Dengan demikian, Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum. Perbuatan tersebut (pelanggaran dan kejahatan) diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita dibagi atas kejahatan (misdrijiven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut M.v.T (Smidt dan seterusnya) pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipiil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
Istilah kejahatan berasal dari kata “jahat”, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang.

Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP di bagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) dimana Buku II KUHP (Pasal 104 KUHP - Pasal 488 KUHP) mengatur mengenai kejahatan dan Buku III KUHP (Pasal 489 KUHP– Pasal 569 KUHP) mengatur tentang pelanggaran.
Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang demikian.
Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.
Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan lebih berat daripada pelanggaran, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu :
1. Pidana penjara hanya diancamkan kepada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus di buktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3. Percobaaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54 KUHP). Juga pada pembantuan pada pelanggaran tidak dapat di pidana (pasal 60 KUHP).
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk menentukan hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal pembarengan (concursus) pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang ringan lebih mudah daripada pidana berat.
Perbuatan-perbuatan kejahatan antara lain:
1. Kejahatan terhadap keselamatan negara, kepentingan negara, pemberontakan, dan pengkhianatan.
2. Mengacaukan sidang parlementer, merintangi pemilihan umum.
3. Mengganggu rapat-rapat umum, perampokan-perampokan.
4. Kejahatan terhadap kesusilaan: pencabulan, perjudian, penganiayaan hewan.
5. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, penculikan.
6. Kejahatan terhadap jiwa orang: pembunuhan.
7. Penganiayaan.
8. Pencurian.
9. Pemerasan dan Ancaman.
10. Penggelapan.
11. Penipuan.
12. Penghinaan.
13. Kejahatan jabatan.
Pelanggaran-pelanggaran antara lain sebagai berikut:
1. Pelanggaran terhadap umum: kenakalaan terhadap manusia,hewan atau barang yang membahayakan keselamatan umum.Misalnya penjualan makanan dan minuman yang sudah rusak,berburu tanpa ijin.
2. Pelanggaran terhadap ketertiban umum: mengganggu tetangga,pengemisan
3. Pelanggaran terhadap kekuasaan umum: merobek/merusak pengumuman dari yang berwajib.
4. Pelanggaran terhadap kesusilaan: menjual gambar atau film yang tidak senonoh
5. Pelanggaran terhadap keamanan negara:memasuki tempat angkatan perang.

C. Penutup..

Sebagai penutup adapun sebagian perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

1. Delik dolus dan delik culpa

Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya pasal 338 KUHP; “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada detik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya.

2. Delik commissionis dan delikta commissionis

Yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372) dan menipu (pasal 378). Yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat sesuatu padahal mestinya harus berbuat.
Adapula yang dinamakan delikta commissionis peromissionem commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan: tidak memberi makan pada anak itu.

3. Delik biasa dan delik yang dikualifisir (dikhususkan)

Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa. Adakalanya obyek yang khas, adakalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi.

4. Delik menerus dan tidak menerus.

Perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya pasal 333 KUHP, yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah. Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi perbuatan yang dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, tapi masih menerus.


Pada intinya perbedaan kejahatan dan pelanggaran tidak menjadi ukuran lagi untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa mengadilinya, seperti dahulunya, oleh karena sekarang diadili oleh oleh Pengadilan Negeri (PN). Meskipun demikian, ada perbedaan dalam acara mengadili.







D. Daftar Pustaka.

• Asas-asas Hukum Pidana, Prof. Moeljanto, S.H.
• Hukum Pidana Internasional Ekstradisi, I Wayan Parthiana.
• http://www.el-gezwa.co.cc/2010/02/pembagian-perbuatan-pidana-dalam.html
• http://www.gerfas.co.cc/2010/03/perbedaan-kejahatan-dan-pelanggaran.html
• http://pendekarhukum.com/hukum-pidana/49-pembagian-hukum-pidana.html

Kamis, 21 Juli 2011

Akibat Dan Hukum Kausal

PENDAHULUAN
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut).Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.
Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang.Contoh : matinya si A.
Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum.
Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi.
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita.Teori-teori hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab.
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc).

TEORI-TEORI DALAM HUBUNGAN KAUSAL
Untuk menjawab masalah kausalitas, maka dalam Hukum Pidana terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab yang menimbulkan akibat pada suatu delik:
1. Teori Ekuivalensi
Teori ekuivalensi disebut juga teori condition sine qua non, yang dipelopori oleh Von Buri (1873).Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.
Kritik / keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).
Kebaikan teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.

2. Teori Individualisasi
Teori ini berpatokan pada keadaan setelah peristiwa terjadi ( post factum). Artinya faktor-faktor aktif atau pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari kasus, sedangkan faktor lain hanya syarat saja (tidak dianggap menentukan timbul akibat). Ada dua pakar yang menganjurkan teori individualisasi ini yakni Birkmayer dan Binding.
 Birkmayer (Sudarto, 1990: 69) menjelaskan bahwa sebab adalah syarat yang paling kuat, tetapi bagaimanakah menentukan faktor yang paling kuat itu, apa ukurannya, pertanyaan itulah yang merupakan kritikan terhadap pandangan Birkmayer.
 Binding (Sudarto, 1990: 69) menjelaskan bahwa sebab dai suatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negative) dan faktor positif. Faktor positif ialah yang lebih unggul.Disebut sebab yakni syarat-syarat positif yang memiliki keunggulan terhadap syarat-syarat negatif.Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat yang terakhir yang mampu menghilangkan keseimbangan.

3. Teori Generalisasi
Teori ini dipelopori oleh Von Bar (1970). Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
c. Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.

Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang menentukan).
2. Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche Prognose” (Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.
Contoh :
Seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekuensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan sebagainya.
KAUSALITAS DALAM HAL TIDAK BERBUAT
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya).Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”.Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.
Yang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian :
a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini).
b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal : seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu.
c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.
d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak :
1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan ?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak patut.
2) Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya.

Daftar pustaka:
• Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993
• http://www.jevuska.com/topic/tentang+akibat+dan+hubungan+kausal.html
• http://www.el-gezwa09.co.cc/2010/02/pembagian-perbuatan-pidana-dalam.html